PANDANGAN TENTANG EKONOMI ISLAM


Abstrak
Ketentraman akan dapat dicapai apabila keseimbangan kehidupan di dalam masyarakat tercapai. Untuk mencapai keseimbangan hidup di dalam masyarakat diperlukan aturan-aturan yang dapat mempertemukan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
Kegiatan ekonomi Islam tidak semata-mata bersifat materi saja, namun juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana. Rakus terhadap kekayaan dan sikap yang mementingkan materi belaka, sangat dicela. Walaupun di dalam syari’at Islam diakui adanya hak-hak yang bersifat perorangan terhadap suatu benda, bukan berarti atas sesuatu benda yang dimilikinya itu, seseorang dapat berbuat sewenang-wenang. Sebab aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri, juga masih melekat hak orang lain.
Ekonomi Islam
Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk individu, telah disediakan Allah Swt, beragam benda yang dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang beragam tersebut, tidak mungkin dapat diproduksi sendiri oleh individu yang bersangkutan. Dengan kata lain, ia harus bekerja sama dengan orang lain. Hal itu bisa dilakukan, tentunya harus didukung oleh suasana yang tentram. Ketentraman akan dapat dicapai apabila keseimbangan kehidupan di dalam masyarakat tercapai. Untuk mencapai keseimbangan hidup di dalam masyarakat diperlukan aturan-aturan yang dapat mempertemukan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat.
Langkah perubahan perekonomian umat Islam, khususnya di Indonesia harus dimulai dengan pemahaman bahwa kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan tuntutan kehidupan yang berdimensi ibadah. Hal ini tercantum dalam QS. Al–A’raf: 10, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu sumber penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. Selain itu disebutkan juga dalam (QS. Al-Mulk: 15, QS. An-Naba’: 11 dan QS. Jumu’ah :10).
Kegiatan ekonomi Islam tidak semata-mata bersifat materi saja, namun juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana. Rakus terhadap kekayaan dan sikap yang mementingkan materi belaka, sangat dicela. Walaupun di dalam syari’at Islam diakui adanya hak-hak yang bersifat perorangan terhadap suatu benda, bukan berarti atas sesuatu benda yang dimilikinya itu, seseorang dapat berbuat sewenang-wenang. Sebab aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri, juga masih melekat hak orang lain.
Adanya hak orang lain (masyarakat) terhadap hak milik yang diperoleh seseorang dibuktikan dengan ketentuan-ketentuan antara lain; pelarangan menimbun barang, larangan memanfaatkan harta untuk hal-hal yang membahayakan masyarakat, seperti memproduksi barang-barang yang tidak boleh dimiliki dan dikonsumsi menurut pandangan Islam, contoh: memproduksi atau menjual buku, kaset, film yang menyesatkan dan membawa kepada kekafiran, memproduksi atau menjual makanan dan minuman yang dilarang, seperti makanan haram, minuman keras dan obat-obatan terlarang dan lainnya.
Prinsip pokok dalam pengembagnan harta dalam pandangan Islam ialah kegiatan ekonomi yang tidak bertentangan dengan akidah, seperti disebutkan dalam QS. Hud : 84,85,86 dan 87. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa sistem ekonomi islam adalah sistem ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) dalam kehidupan sehari-hari baik bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/ penguasa dan pemanfaatan barang dan jasa menurut aturan Islam.

Filosofi Ekonomi Islam
Ketentuan Tuhan yang harus ditaati bukan hanya yang bersifat mekanis, juga dalam hal etika dan moral. Artinya, selain untuk memenuhi kepuasan manusia yang tak terbatas, kegiatan ekonomi bertujuan untuk menciptakan kesejahteraaan umat Islam. keadilan dan keseimbangan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktifitas ekonomi, sepanjang tidak ada larangan Tuhan yang menetapkannya. Pertanggungjawaban maksudnya adalah bahwa manusia sebagai pemegang amanat Tuhan mempunyai tanggungjawab atas segala pilihan dan keputusannya.
Sistem Ekonomi Islam berbeda dengan sistem Ekonomi lainnya, seperti diungkapkan oleh (Zadjuli dalam , Tadjoeddin 1992: 39 seperti dikutip Lubis, 2004: 15), yaitu :
1. Asumsi dasar/norma pokok dalam proses maupun Interaksi kegiatan Ekonomi yang diberlakukan. Dalam sistem Ekonomi Islam yang menjadi asumsi dasarnya adalah Syari’at Islam, yang diberlakukan secara menyeluruh baik terhadap individu, keluarga, kelompok masyarakat, penguasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Prinsip Ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan serta menjaga kelestarian lingkungan.
3. Motif ekonomi Islam adalah mencari keberuntungan dunia dan akhirat
Hal-hal tersebut didasarkan atas ketentuan dalam QS. al-Baqarah: 208 tentang perintah ajaran Islam untuk dilaksanakan secara totalitas, QS. Ar-Rum: 41 tentang asas efisiensi dan menjaga kelestarian lingkungan, QS. Al-Qasas: 77 tentang motif ekonomi menurut pandangan Islam.
Perbedaan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya di atas, sejalan dengan pendapat asy-Syathibi 1941: 3-9 dan al-Ghazali (Az-Zuhaili, 1986:1020), seperti dikutip (Burhan 2001: 120), yang menyatakan perhatian para ahli ekonomi Islam berangkat dari dimensi filosofi dan nilai Islam, dengan tetap memakai alat-alat pengukuran ilmu ekonomi lainnya (Capra, 1999: 7-9) seperti dikutip Burhan, 2001: 120).
Ilmu ekonomi Islam pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu yaitu ilmu ekonomi dan ilmu agama Islam (fiqh muamalat). Ilmu ekonomi Islam juga memiliki dua objek kegiatan yaitu objek formal dan objek material. Objek formal dalam ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem produksi dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik dari aspek prediksi tentang laba, rugi yang akan dihasilkan maupun dari aspek legalitas sebuah transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu yang terkait dengan ilmu ekonomi Islam, seperti dikutip (Daulay, 2002:99 dari Anwar, 2002: 1).
Perbedaan antara ilmu ekonomi dan fiqh muamalat adalah dalam cara memperolehnya. Ilmu ekonomi didapatkan melalui pengamatan (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagai contoh dapat dilihat dari teori permintaan dalam ilmu ekonomi, yaitu: apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka harga barang tersebut secara otomatis akan menjadi naik (Jones, 1975; 15, seperti dikutip Daulay, 2002: 101).
Fiqh muamalat diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al Qur’an dan Hadits oleh para fuqaha / penalaran yang bersifat kualitatif. Dari segi tujuan, ilmu ekonomi bertujuan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan fiqh muamalat berfungsi untuk mengatur hukum kontrak (aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil (Ahmad, 1980:59 seperti dikutip Daulay, 2002:103).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa ilmu ekonomi lebih berorientasi materialis, dengan kata lain ilmu ekonomi mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh muamalat lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat normatif /menentukan status hukum, boleh tidaknya sebuah transaksi bisnis (Hakim, 2002: 2 seperti dikutip Daulay, 2002 :103).
Dalam operasionalnya ilmu ekonomi Islam akan selalu bersumber dari kedua disiplin ilmu tersebut yang mempunyai perbedaan dari segi sumber ilmunya itu sendiri. Ilmu ekonomi Islam adalah pemikiran manusia, sedangkan sumber fiqh muamalat adalah wahyu yang didasarkan pada petunjuk Al Qur’an dan Hadits Nabi. Perbedaan sumber ilmu pengetahuan ini menyebabkan munculnya perbedaan penilaian terhadap problematika ekonomi manusia. Sebagai contoh, ilmu ekonomi akan menghalalkan sistem ekonomi liberal, kapitalisme dan komunis, sedangkan fiqh muamalat masih membutuhkan legislasi dari Al Qur’an dan Hadits dan belum dapat menerima ketiga sistem tersebut.
Penutup
Pluralisme sistem ekonomi ini muncul karena ketidakmampuan umat Islam melahirkan suatu konsep sistem ekonomi Islam menggabungkan sistem ekonomi dengan syari’at). Kondisi ini oleh Antonio dilukiskan: “disatu pihak kita menggerakkan roda pembangunan ekonomi, tetapi lupa membawa pelita agama karena memang tidak menguasai syari’at terlebih fiqh muamalat secara mendalam. Di lain pihak, kita menemukan para kiayi dan ulama yang menguasai secara mendalam konsep fiqh dan disiplin ilmu lainnya, tetapi kurang menguasai dan memantau fenomena ekonomi dan gejolak bisnis di sekelilingnya.
Perbedaan mendasar antar disiplin ilmu ekonomi dan fiqh muamalat mengharuskan adanya pemikiran untuk mensinergikan keduanya ke dalam satu disiplin ilmu. Terlepas dari masalah-masalah di atas, Antonio (1992: 1) seperti dikutip (Lubis, 2004 :15), memberikan tawaran-tawaran yang terpenting dalam pemahaman tentang ekonomi Islam, yaitu: ekonomi Islam ingin mencapai masyarakat yang berkehidupan sejahtera di dunia dan di akherat, hak milik relatif perorangan diakui sebagai usaha dan kerja secara halal dan dipergunakan untuk hal-hal yang halal pula, dilarang menimbun barang/harta danmenjadikannya terlantar, dalam harta benda itu terdapat hak untuk orang miskin, pada batas tertentu hak milik tersebut dikenakan zakat, perniagaan diperkenankan, akan tetapi riba dilarang, tidak ada perbedaan suku dan keturunan dalam bekerja sama dan yang menjadi ukuran perbedaan adalah prestasi kerja. Semoga tawaran-tawaran ini dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

0 Response to "PANDANGAN TENTANG EKONOMI ISLAM"

Posting Komentar